Senin, 14 Desember 2009

Fingerprint Test Membantu Proses Konseling


Fingerprint test dan Konseling.

Kisah ini berawal dari pasangan suami istri yang mengikut sertakan anaknya untuk fingerprint test. Ketika memberikan konsultasi tentang kecerdasan dan karakter anaknya maka mereka menganggap alat bantu ini mampu mendeteksi dengan akurat. Meskipun kami dengan cukup hati-hati menyampaikan level kecerdasan reasoning anaknya, yang kurang bagus sehingga disarankan untuk masuk ke IPS. Ayah si anak begitu antusias mengatakan, “ memang saya tidak berharap anak saya masuk ke jurusan IPA”. “Coba dulu saya masuk jurusan tersebut maka nasib saya sama seperti teman-teman seangkatan saya, yang sampai dengan hari ini nasibnya masih lebih saya”, kata si ayah yang menekuni bisnis garmen.

Singkat cerita, mereka meyakini alat bantu ini mampu mengidentifikasi dengan cukup baik, maka mereka berdua juga meminta untuk di Fingerprint Test. Dalam jangka waktu 1 minggu kami sampaikan laporan hasil tes pasangan tersebut dan menentukan jadual untuk konsultasinya. Mereka memilih sebuah cafe untuk pelaksanaan konsultasinya. Pada sessi konsultasi, kami menjelaskan tentang kecerdasan dan karakternya. Manakala kami sampai pada kecerdasan klasifikasi dan menyebutkan tentang gejala untuk menggambarkan dengan lebih jelas maka reaksi suaminya berbeda dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Gejala pada kecerdasan klasifikasinya kami gambarkan sebagai orang yang cenderung ceroboh, menempatkan sesuatu dengan cara sembarangan dan sering kali mengalami kesulitan mencari barang yang ditaruhnya sendiri. Manakala ia pergi mandi, orang dengan kecerdasan seperti ini, kurang melakukan persiapan sehingga ia cenderung meminta tolong untuk diambilkan handuk ketika selesai mandi. Sang suami menyatakan benar, “bahkan pak”, tambahnya. “ ia seringkali seperti itu, meskipun saya sudah berulang kali mengingatkannya”. Pertengkaran kecilpun mulai terjadi antara pasangan tersebut. “kalau meminta saya untuk mengembalikan handuk, ya jangan uring-uringan ( jawa = marah), kan bisa menyampaikan dengan kata yang baik”, balas istrinya. “ masak enggak (tidak) bisa menyampaikan dengan baik, atau biarkan saja nanti saya juga akan membereskanya sendiri”, semakin ketus istrinya menjawab.

Kami coba menengahi pertengkaran tersebut, “Memang tak ada masalah besar muncul tanpa didahului dengan masalah kecil, namun bapak perlu membantu istri karena itu kecerdasannya yang rendah dan dulunya kurang mendapatkan perhatian dari orang tua”. “Siapa yang enggak jengkel pak”, sang suami mencoba untuk menjelaskan. “ bapak saya pernah terkena serangan jantung, saya pulang dari kantor dan tak bisa membuka pintu rumah untuk memberikan pertolongan karena istri saya lupa menaruh kuncinya. Sampai saya meminjam gergaji dari tetangga untuk membuka pintu tersebut. Ini sudah keterlaluan”, lanjutnya. Kami mencoba menenangkan pihak istri sehingga sang suami dapat melanjutkan ceritanya,” ia sudah saya tegur berkali-kali, ia yang membeli sendiri kotak rumah kuncinya, ia juga yang menentukan dimana lokasi romah kunci tersebut di tempatkan, sampai ia juga yang memberikan kode untuk setiap anak kunci tersebut....... eh ... malah dia juga yang tidak menempatkan pada tempatnya”. Begitu sembrono sekali”. Tambahnya, “ siapa yang tidak jengkel pak”.
Setelah sang suami mengakhiri ceritanya, maka kami sampaikan bahwa orang dengan kecerdasan klasifikasi yang rendah memang mengalami kesulitan. Ibu pasti juga sudah berusah untuk berubah tetapi memang ia membutuhkan bantuan. Tak ada orang yang mendapatkan masukan yang baik, tak ingin merubah apalagi sebagai pasangan suami istri. Kalau ingin mengetahui adanya perubahan maka kita harus mengukurnya. Bisa jadi ibu sudah banyak kemajuan tetapi bapaknya masih mengatakan masih sering ceroboh. Akhirnya kedua belah pihak merasa jengkel sehingga dalam keadaan emosi pikiran tak akan bekerja optimal. Anda berdua mengalami kesulitan untuk mencari jalan keluarnya.

Kami sarankan untuk menggunakan checklist untuk mengukur tingkat perubahan perilaku sang istri yang dapat dipahami oleh sang suami. Mengisi checklist sebagai perilaku baru dan mampu membentuk kebiasaan untuk memperhatikan apa yang akan dikerjakan. Seringkali kami gunakan teknik ini untuk membantu orang –orang yang lemah di bidang klasifikasinya karena dengan teknik pengukuran ini maka keterlibatan emosi dapat diminimalisir. Bukankah mereka yang tak bisa mengukur maka mereka tak pernah bisa melakukan perubahan. Sulit bagi mereka untuk mengetahui bahwa dirinya telah mengalami perubahan.

Moga berbagi cerita mengenai fingerprint test membantu proses konseling bisa mendatangkan manfaat bagi pembaca.

Salam sukses selalu
Drs.Psi. Reksa Boeana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar