Senin, 18 Januari 2010

Mengembangkan kecerdasan Logika Matematika

Banyak orang tua yang stress manakala mengetahui anaknya memiliki kecerdasan logika matematika yang rendah. Hal ini karena adanya persepsi yang kuat dimasyarakat bahwa cerdas diidentikkan dengan nilai matematikanya yang baik. Banyak orang tua yang membanggakan tentang nilai matematika anaknya yang tinggi. Ada sebagian yang kecewa dengan nilai psikotes anaknya yang rendah. Sebenarnya nilai atau skor IQ tidaklah menentukan anak sukses dimasa depan. Banyak contoh dimana anak dianggap bodoh dan dikeluarkan dari sekolah tetapi bisa sukses di dunia kehidupannya.

Setiap anak adalah cerdas. Kalau dia rendah di logika matematika maka ia memiliki kecerdasan yang tinggi disisi lainnya, musik misalnya. Oleh karena itu orang tua perlu mengenali bakat anak sejak dini dan fokus pada kelebihan anak. Jangan tuntut anak melebihi daripada kapasitas dirinya. Sesungguhnya yang membantu anak sukses bukanlah nilai atau skor tetapi kebiasaan yang dibentuk sejak dini. Kebiasaan membacanya yang baik, pasti akan membantu anak mengatasi persoalan hidup dimasa dewasanya. Kebiasaannya menjalin relasi, akan menolong dia ketika mengatasi sebuah persoalan.

Jumlah latihan menentukan kecepatan respon yang baik, termasuk dalam pelajaran matematika. Cepat tanggap dapat dilatih, tetapi kecerdasannya tetap tak berubah. Untuk anak dengan kecerdasan logikanya rendah maka diperlukan latihan contoh soal yang banyak. Manakala latihan tak dilakukan lagi maka anak tersebut menjadi kurang tanggap terhadap soal logika yang diberikan kepadanya. Pengalaman terhadap para sarjana yang diberikan soal logika kelas 5 SD membuktikan adanya pengaruh kecerdasan logika matematika. Berbeda dengan individu yang memiliki kecerdasan logika matematika yang tinggi maka mereka masih memiliki ingatan yang baik dalam menyelesaikan persoalan logika yang diberikan kepadanya. ( baca tulisan lain dalam blog ini ).

Jumlah latihan dapat memperbaiki nilai matematika anak telah dibuktikan oleh banyak kursus yang mengajarkan berbagai metode. Kumon lebih menekankan jumlah latihan dengan banyak soal dengan target waktu tertentu. Aritmatika (simpoa) mengajarkan berhitung dengan cara membayangkan(kecerdasan imajinasi). Mereka hanya diajarkan tentang kecepatan menghitung operasi tambah, kurang, kali, bagi. Namun dapat meningkatkan nilai matematika anak. Kursus lainnya lebih mengandalkan pengembangan logika anak. Manakah yang terbaik????? Tentunya perlu disesuaikan dengan kecerdasan anak itu sendiri karena semua metode adalah baik dan telah teruji.
Dr. Kawashima mengajarkan agar otak orang dewasa terjaga kemampuannya hanya dengan cara yang sangat sederhana. Anda berhitung dengan kecepatan tinggi dari 1 sampai 120. Teknik kedua yaitu menghitung angka terbalik dari 100 menuju nol. Reksa dalam mind fokus exercisenya menghitung turun dan naik dengan menggunakan suatu gerakan. Banyak kemajuan dari anak yang disarankan menggunakan metode latihan kecepatan menghitung angka. Pokok persoalannya adalah bagaimana kita menantang otak untuk bekerja lebih keras maka sinaps di pre frontal lobe kita bertambah. Khusus untuk matematika maka bukan anak tak mengerti tentang soal yang diberikan tetapi mereka menjadi kurang teliti karena jumlah latihannya kurang. 60% kasus anak mendapatkan nilai buruk karena mereka tidak teliti bukan mereka tidak mengerti. Latihan kecepatan membuat mereka menjadi lebih teliti.

Metode pengajaran juga perlu diperhatikan. Metode yang salah menciptakan rasa pesimis anak sehingga ia menganggap dirinya “tak bisa” dan menumbuhkan daya juang yang lemah. Anak menjadi mudah putus asa manakala diberikan persoalan yang sedikit lebih sulit. Disamping kecerdasan yang dimiliki (multiple intelligence) maka faktor daya juang juga sangat menentukan anak sukses dimasa depan (Adversity Quotion, jadi disamping IQ,EQ, diperlukan juga AQ, mau ditambah SQ juga boleh deh). Banyak orang tua yang mengajarkan berhitung lebih mengutamakan urutan angkanya bukan mengajarkan anak memahami konsepnya. Urutan angka 1 sampai dengan 10 lebih diutamakan, dibandingkan “ini berapa?” (sambil menunjukkan jarinya). Sang Anak menjawab” dua” dan respon yang diberikan orang tua “bukan”. Anak menjawab “tiga” dan orang tua merespon “salah”. Kemudian anak menjawab “empat”. Orang tua merespon dengan gembira “ benar.... adik pandai sekali”. Cara ini mengajarkan pada anak untuk mengetahui urutan bukan konsep. Hal ini nampak pada anak usia SD kelas 3-4 yang masih menggunakan jari jemari mereka manakal ditanya operasi penjumlahan. Mereka “menyengaja” untuk berpikir lambat agar tidak salah.

Manakala mengajarkan konsep perkalian (baca artikel lain dalam blog ini), banyak orang tua mewariskan ajaran nenek moyangnya yaitu menghafalkan perkalian 1 sampai 10. Pada waktu itu, kita belajar dan sekarang bisa menghafalkan perkalian.” Tak ada masalah dengan pengajaran seperti itu”, sergah seorang ibu dalam sessi konsultasi. Perlu disadari bahwa jaman telah berubah. Permainan anak jaman dulu berbeda dengan anak jaman sekarang. Permainan yang dilakukan oleh anak jaman dulu dapat meningkatkan daya juang anak, sehingga anak tak mudah putus asa (baca perubahan sistem pengajaran fokus CALISTUNG). Mereka dapat melakukan katarsis atas beban psikologis mereka dalam permainan, mereka bebas berteriak serta adu debat ketika ada yang curang dalam permainan.

Coba perhatikan dengan anak jaman ini. Mereka lebih banyak menyendiri dan lebih asik dengan permainannya dengan menekan tombol2 dalam suara bisu mereka. Manakala mereka berteriak, maka teguranpun datang. “jangan teriak-teriak begitu dong kalau main games”, kata orang yang kita semua tak tahu darimana suara itu berasal karena tak pernah menyadarinya. Manakala mengajarkan perkalian 1 maka anak dengan penuh semangat belajar karena mereka tak pernah berbuat kesalahan. Manakala belajar perkalian 2 maka anak merasa sedikit tidak bisa. Manakala belajar perkalian 3 maka anak merasa banyak yang tak bisa. Manakala belajar perkalian 4, sang anak menyatakan dirinya tak pandai. Hal ini nampak pada anak, meskipun ia sudah sekolah di SLTA. Tanda atau gejalanya yaitu ia memperlambat kerja otaknya manakala diberikan soal perkalian. Oleh karena itu pembentukan unsur daya juang dan menumbuhkan minat terhadap matematika perlu ditumbuhkan dengan banyaknya keberhasilan ketika anak belajar. Kami sendiri sering memberikan bantuan dengan mengajarkan perkalian dengan urutan 1, 10, 9, 5, 2, perkalian yang sama. Manakala belajar dengan urutan ini anak menjadi senang dan ingin belajar. Lakukan belajar secara bertahap dengan kecepatan tinggi. Kemudian melanjutkan dengan pelajaran perkalian 3, 4, 6, 7, 8.

Orang tua tidak memerlukan waktu banyak dalam mengajarkan anak tentang konsep perkalian dengan cara ini. Dalam waktu maksimal 2 bulan, anak telah menguasai perkalian dengan mahir. Manakala ia kurang lancar untuk perkalian 6,7,8 maka ajarkan anak dengan metode jarimatika. Tetapi penggunaan metode ini cukup dilakukan dalam periode maksimal 3 bulan. Untuk berikutnya anak harus cepat menghafalkan perkalian tanpa bantuan jarinya.

Demikian yang dapat kami sharingkan, mudah2an banyak mendatangkan manfaat bagi pembaca, khususnya pada orang tua yang mengetahui level kecerdasan reasoning putranya melalui fingerprint test. Tak perlu khawatir karena untuk sukses dibutuhkan latihan. Seseorang menjadi juara ditentukan oleh jumlah latihannya. Jumlah latihan jauh lebih besar daripada kejuaraan itu sendiri.

Salam Sukses Selalu
Drs. Psi. Reksa Boeana
Executive Partner Smart Business Solution.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar